2
Oktober adalah hari Batik Nasional. Penetapan Hari Batik memiliki
gaungnya setelah Malaysia secara sepihak mengakui Batik adalah hak kekayaan
Intelektual bangsa Malaysia. Apa yang dilakukan Malaysia adalah bukan tindakan
budaya, tapi tindakan ekonomi yaitu : Memperoleh hak pengakuan Kapital atas
batik sehingga batik akan memiliki daya hidup industrinya mulai dari produk
massal sampai dengan produk high-end.
Batik memiliki riwayat panjang dalam sejarah
Indonesia terutama sejarah Jawa berhubungan dengan kekuasaan, permulaan sebuah
tempat ataupun persoalan ekonomi. Di Solo terkenal ada kampung bernama Laweyan.
Kampung ini amat dikenal bukan saja di Solo sebagai kampung perajin batik dan
saudagar batik tapi juga dikenal luas secara nasional dan Internasional.
Berdirinya kampung Laweyan ini erat dengan kaitannya jatuhnya kekuasaan Majapahit
ke tangan Kerajaan Islam Demak dan menjadi simbol pelestarian budaya membatik
tinggalan Majapahit yang terkenal indah itu di masa kekuasaan Jaka Tingkir atau
Sultan Hadiwijoyo pada tahun 1549-1582. Setahun setelah Sultan Hadiwijoyo naik
tahta, kelompok keturunan Ki Ageng Selo mendapat tempat khusus dalam struktur
pemerintahan kerajaan. Salah satunya adalah Ki Ageng Ngenis, cucu dari Ki Ageng
Selo (Ki Ageng Selo adalah cucu dari Brawijaya V, Raja Mapahit terakhir). Ki
Ageng Ngenis diperintahkan untuk membangun sebuah desa yang diberi nama
Laweyan.
Batik
yang dikembangkan di Laweyan tak lepas dari perkembangan batik Majapahit yang
dibangun oleh Adipati Kalang pada masa pemerintahan Majapahit. Adipati Kalang
saat itu menguasai industri batik di wilayah Mojokerto dan menolak tunduk pada
Majapahit lantas diserang lalu dihancurkan oleh Majapahit, beberapa ahli seni
batiknya dibawa ke Keraton Majapahit dan kemudian mengajarkan batik kepada
kawula Majapahit sehingga dijadikan seni rahasia Istana.
Ki
Ageng Ngenis kemudian bergelar Ki Ageng Laweyan membangun pusat studi batik
bergaya Majapahit, Di masa inilah kemudian berkembang motif-motif yang
mendasari desain batik Jawa era Mataram Islam disebut motif Mataram karena
motif ini sangat booming setelah Pajang kalah dengan Mataram pada tahun 1580-an.
Di ceritakan saat Raden Pabelan (Keponakan Sutawijaya -penguasa Mataram)
menggoda puteri bungsu Sultan Hadiwijoyo, Raden Pabelan mengenakan batik
bangsawan Keraton Pajang yang tidak boleh dipakai sembarangan, dan saat Raden
Pabelan menyusup ke lingkungan Sekar Kedaton, digambarkan puteri bungsu Mataram
sedang membatik dengan canting, hal yang seperti ulangan pada kisah lama saat
Raden Joko Tingkir (nama muda Sultan Hadiwijoyo) menerobos pintu masuk tembok
Sekar Kedaton Demak untuk berkencan dengan anak Raja Demak yang juga sedang
membatik. Pada masa pemerintahan Panembahan Senopati di Mataram berkembang
bengkel batik yang luar biasa maju yaitu di Plered. Sampai saat ini bekas
ibukota kerajaan Mataram itu masih menyisakan industri batik yang cukup massif,
bahkan batik cap yang kemudian berkembang tahun 1920-an berawal dari inovasi
saudagar-saudagar batik Kotagede.
Sampai
pada era Perang Diponegoro 1825-1830. Batik masih menjadi seni rahasia Istana
terutama untuk motif-motif khusus seperti Sidomukti dan Sidoluruh. Perang
Diponegoro adalah perang yang amat besar dan massif. Pada saat itu banyak
bangsawan terlibat atas perang besar ini, sehingga ketika Belanda melakukan
strategi perang benteng stelsel yaitu : membangun tangsi disetiap tempat yang
dikuasai maka keluarga bangsawan yang mendukung Diponegoro banyak mengungsi ke
wilayah-wilayah di luar Yogyakarta. Wilayah Banyumas adalah wilayah yang paling
banyak menjadi tempat pengungsian para bangsawan Yogyakarta. Selain Banyumas
juga bangsawan tersebut mengungsi ke Pekalongan dan menetap disana. Disinilah
kemudian corak-corak batik berkembang luas dan pengaruh Solo-Yogya dianggap
sebagai dasar seluruh batik Jawa dan Madura.
Batik
menjadi produksi paling utama di Jawa. Perkembangan Batik menjadi amat kuat
setelah ditemukannya metode penanaman serat kapas (ciam) dari tanaman Jong yang
sangat ahli dilakukan oleh orang-orang Cina di Pekajangan (Pekalongan) pada
tahun 1880. Ditemukannya serat ini membuat jiwa dagang orang Pekalongan tumbuh.
Banyak dari saudagar-saudagar Pekalongan baik keturunan Cina atau Jawa asli
yang berpindah ke Solo dan membangun usaha Batik. Kemudian pada tahun 1898,
Sunan Pakubowono X, Raja Solo yang baru diangkat beberapa tahun sebelumnya
memerintahkan dibangun sebuah sentra perdagangan sekaligus koperasi-koperasi
bagi usaha Batik. Konsep Koperasi menjadi obsesi Sunan Solo setelah membaca
sebuah buku tentang Koperasi di Inggris tentang industri tekstil. Atas titah
Sunan inilah kemudian berdiri puluhan koperasi di Solo. Lantas kemudian diikuti
berdirinya koperasi diluar wilayah Voorstenlanden (Solo dan Yogya) yaitu di
Pekalongan, Semarang dan Cirebon.
Pada
tahun 1948, beberapa pengusaha Solo dan Pekalongan bertemu untuk membangun
sebuah gabungan koperasi batik Indonesia. Lalu beberapa orang dipimpin Haji
Djunaid menghadap ke Pemerintah Indonesia yang saat itu berada di Yogyakarta.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengajak para pengusaha bergabung
dan bersatu membentuk “Gabungan Koperasi Batik Indonesia”. Atau disingkat
“GKBI”. Kekayaan GKBI sempat berjaya ketika Pemerintahan Republik Indonesia di
tahun 1950-an memutuskan bahwa GKBI dilindungi pemerintah dengan memberikan
konsesi khusus harga pada kain mori dan penyediaan kain putih. Pada tahun 1960
bahkan Presiden Sukarno mengajak seluruh rakyat memakai batik sebagai pakaian
nasional. Sejak 1964 pesta-pesta pernikahan resmi yang tadinya orang-orang
mengenakan jas ala Belanda mulai banyak yang memakai batik sebagai bentuk
pakaian formal.
Kehancuran
industri batik justru terjadi pada masa pemerintahan Suharto yang tidak lagi
melihat batik sebagai kekuatan industri nasional. Suharto mencabut momopoli
khusus peredaran batik oleh GKBI dan konsesi-konsesi lainnya serta
meliberalisasi impor tekstil yang membuat batik terpuruk oleh jenis pakaian
lain yang lebih murah. Puncaknya adalah tahun 1985 batik menjadi hancur
setelah GKBI terjerat hutang ke banyak pihak.
Industri
batik nasional kemudian surut ke belakang dan diramalkan akan punah. Penyelamat
dari kesadaran batik nasional justryu terjadi di kalangan elite dan sosialita
negeri ini. Adalah Iwan Tirta yang berhasil membangun kekayaan batik nasional
dengan menciptakan batik high-end dengan kain sutera dan berbenang emas.
Tirta mengenalkan ke banyak kepala negara, bahkan Nelson Mandela seakan-akan
tak lepas dari baju batiknya.
Kini
kesadaran orang Indonesia tentang batik adalah penyelamatan warisan kekayaan
nasional setelah Malaysia mengaku-aku batik menjadi klaim kekayaan mereka dan
mulai munculnya arabisasi dalam dunia fashion Indonesia.
Batik adalah budaya nasional.
0 komentar:
Posting Komentar